Lamborghini Huracán LP 610-4 t
Peraturan yang dibuat belanda yaitu Zee en Marietieme Kringen Ordonantine 1939 (tzemko 1939) dimana lebar laut wilayah teritorial indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah masing-masing pulau indonesia, sangat merugikan bagi indonesia karena wilayah indonesia menjadi lebih sempit. Apa lagi keputusan tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Indonesia.
Oleh karena itu pada tanggal 13 desember 1957 dikeluarkan deklarasi juanda yang isinya. Perairan diantara hubungan pulau termasuk wilayah indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman, batas laut teritorial 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau negara Indonesia. Sehingga dengan deklarasi juanda membuat wilayah indonesia menjadi lebih luas daripada peraturan tzemko karena wilayah laut yang lebih luas dari daratan yang menjadi wilayah indonesia

Peraturan Perundangan


Pasal 1 butir 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dilihat dari sisi materi muatannya, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regelling) secara umum dan abstrak, tidak konkrit dan individual seperti keputusan penetapan.

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.

Selain jenis Peraturan Perundang-Undangan di atas, Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Dalam praktik selain jenis sebagaimana dimaksud tersebut juga terdapat Peraturan Menteri sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Oleh karena itu, dalam laman ini juga dimuat Peraturan Menteri. Untuk nama produk hukum, terutama jenis Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, masih terdapat ketidakseragaman, beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri masih dinamakan Keputusan (Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri). Kedua produk hukum tersebut, sepanjang materi muatannya mengatur, dimasukkan dalam kategori Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri.

Selain itu, juga masih ditampilkan produk hukum Ketetapan MPR. Walaupun saat ini sudah tidak dikenal lagi, namun berdasakan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, terdapat 2 Ketetapan yaitu; Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/Marxisme�Leninisme dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Di samping itu, juga terdapat 11 Ketetapan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 yang masih berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang mengaturnya.

Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia, antara lain :
- Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya.
- Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
- Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :
a. undang-undang dalam arti materiel : peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b. undang-undang dalam arti formal : keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
- Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.

- Keputusan Presiden
UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
- Peraturan pelaksana lainnya
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
- Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
- Traktat
Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).
Kelembagaan Negara Berdasarkan UUD 1945

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Presiden dan Wakil Presiden
3. Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6. Mahkamah Agung (MA)


HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN UUD 1945

Hubungan antara MPR - Presiden
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikian juga presiden dalam bidang legislatif dijalankan bersama-sama dengan DPR (pasal 5)
Hubungan antara MPR - DPR
Melalui wewenang DPR, MPR mengemudikan pembuatan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya agar undang-undang dan peraturan-peraturan itu sesuai dengan UUD. Melalui wewenang DPR ia juga menilai dan mengawasi wewenang lembaga-lembaga lainnya.
Hubungan DPR - Presiden
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah. Pengawasan DPR terhadap Presiden adalah suatu konsekwensi yang wajar, yang mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR.
Bentuk kerjasama antara presiden dengan DPR diartikan bahwa Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya.

Hubungan antara DPR - Menteri-menteri
Menteri tidak dapat dijatuhkan dan diberhentikan oleh DPR, tapi konsekuensi dari tugas dan kedudukannya, Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, para Menteri juga dari pada keberatan-keberatan DPR yang dapat mengakibatkan diberhentikannya Menteri.
Hubungan antara Presiden - Menteri-menteri
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya. Dalam praktek pemerintahan, Presiden melimpahkan sebagian wewenang kepada menteri-menteri yang berbentuk presidium.
Hubungan antara MA - Lembaga Negara lainnya
Dalam Penjelasan UUD 45 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun kekuasaan atau kekuatan lainnya.


Sistem pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam UUD 1945 beserta Penjelasannya yaitu :

a. Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat);
Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
b. Sistem Konstitusional, yang berarti bahwa pemerintahan berdasar atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar); jadi tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas (absolutismus);
Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis besar haluan negara, undang-undang dan sebagainya.
c. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalnnya negara dan bangsa, yaitu berupa :
- menetapkan undang-undang dasar;
- menetapkan garis-garis besar dari haluan negara;
- mengangkat presiden dan wakil presiden

d. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR;
Penjelasan UUD 1945 menyatakan :
"Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President". Oleh karena itu presiden adalah mandataris MPR, presidenlah yang memegang tanggung jawab atas jalnnya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggung jawab itu adalah kepada MPR bukan kepada badan lain.
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
Menurut sistem pemerintahan, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR tetapi presiden bekerja sama dengan dewan. Dalam hal pembuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara presiden harus mendapatkan persetujuan DPR.
f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR;
Pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri negara sepenuhnya wewenang presiden. Menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas, karena Kepala Negara harus bertanggung jawab kepada MPR dan kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR;
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :
"Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Kunci sistem ini bahwa kekuasaan presiden tidak tak terbatas ditekankan lagi dalam kunci sistem yang ke 2 sistem Pemerintahan Konstitusional, bukan bersifat absolut dengan menunjukkan fungsi/peranan DPR dan fungsi/peranan para menteri, yang dapat mencegah kemungkinan kemerosotan pemerintahan di tangan presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme).
Adapun yang dimaksud dengan UUD 1945 ialah Konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri dari :
a. Pembukaan, meliputi 4 alinea
b. Batang Tubuh atau Isi UUD 1945 meliputi: 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan
c. Penjelasan resmi UUD 1945
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Adapun UUD 1945 RI antara lain memuat Bab III yang berjudul : Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III ini terdiri dari 12 pasal, yaitu pasal 4 sampai dengan pasal 15.
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : Presiden Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar; Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5 menentukan : bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden menetapkan Peraturan Pemeritah untuk menjalankan Undang-undang sebagai mana semestinya. Kemudian menyusul pasal 6 sampai pasal 15.
Kemudian terdapat Bab V yang hanya mempunyai 1 pasal tentang Kementerian Negara. Selanjutnya ada Bab VII dari pasal 19 sampai 22 tentang DPR. Kemudian ada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 24 dan 25.
Dari bab-bab diatas ternyata UUD 1945 tidak membedakan dengan tegas tugas antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yidikatif seperti Montesquieu dengan Trias Politicanya.
Malahan Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara meliputi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk hak-hak prerogatif. Selanjutnya kekuasaan legislatif diatur juga dalam Bab VII mengenai DPR, sedangkan kekuasaan eksekutif juga pada Bab V mengenai Kementerian Negara.

***
They often change, and then it becomes almost impossible to locate the information, even though this information may be important.
This page: http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/sumber_tatahukum.htm
Copyright © Dan Kardarron
333 Srinakarin Road
Nongbon
Bangkok, 10250
Thailand










Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia
20 Feb








67 Votes

Oleh Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
I. Pendahuluan
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi.[1] Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.
II. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum

Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, Ibid, hlm. 267), hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.
Selanjutnya Lili Rasyidi (Ibid, : 59-60) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi, Ibid. : 57), menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:
• - Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
• - Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
• - Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
• 1. mempunyai arti penting,
• 2. harus dibedakan dari penyelidikan :
a. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
b. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
c. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
- Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
- Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik (Ibid, : 93).

III. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.
IV. Kesimpulan
1. Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
2. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

• 1. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
• 2. Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
• 3. Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
• 4. —————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
• 5. Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
• 6. Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
• 7. Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
• 8. Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
• 9. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
• 10. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
• 11. Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA
A. Pengertian Yurisdiksi
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,26 persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)27, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”.28
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.29
26 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007), hal.56.
27 Ibid, hal.57.
28 Huala Adolf, Op Cit, hal.183.
29 Ibid, hal.184. Universitas Sumatera Utara
Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti :
a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum.
b. Hak menurut hukum.
c. Kekuasaan menurut hukum.
d. Kewenanagan menurut hukum.
Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.
Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam Universitas Sumatera Utara
negeri”.30 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :
a. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.
b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
c. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
d. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).
e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu31 :
1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).32 Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut.
B. Jenis-jenis Yurisdiksi
Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang
30 Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971), hal.45.
31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal.1278.
32 Huala Adolf, Op. Cit., hal.183. Universitas Sumatera Utara
berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.
Menurut Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.33
Yurisdiksi dapat dibedakan atas :
1. Yurisdiksi Perdata.
Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional (yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya terhadap unsur hukum asing).
33 H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, (Medan : USU Press, 1997), hal.69. Universitas Sumatera Utara
2. Yurisdiksi Pidana.
Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak.34
Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut35 :
1. Yurisdiksi Legislatif.
Yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
2. Yurisdiksi Eksekutif.
Yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain. Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction). Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi pengadilan).
34 Huala Adolf, Op. Cit., hal.186.
35Ibid, hal.184. Universitas Sumatera Utara
3. Yurisdiksi Yudikatif.
Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.
C. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional.
Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.
Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu.36 Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.37
Adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-
36 Ibid, hal.70.
37 Ibid, hal.71. Universitas Sumatera Utara
hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.
Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip jurisdiksi berikut :
1. Yurisdiksi teritorial.
Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi demikian :
“It is essebtial attribute ofthe sovereignity, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes and criminal arisingwithin these limits.”38
Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.39
Prinsip teritorial ini terbadi atas dua : suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di
38 Ibid, hal.186.
39 J.G Starke, Op. Cit., hal.270. Universitas Sumatera Utara
daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi. Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif(subjective territorial principle). Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif (objective territorial principle).40
Dari uraian di atas tampak terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat tersebut dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut:
1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat untuk menghukumnya.
2. Biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan tindak pidana.41
3. Biasanya, pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut.
4. Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tunduk pada dua sistem hukum.42
Menurut hasil penelitian Universitas Harvard, pertimbangan lain dalam menerapkan yurisdiksi teritorial ini adalah bahwa negara dimana si pelaku tindak
40 Ibid, hal.187.
41 Ibid, hal.187.
42 Ibid, hal.188. Universitas Sumatera Utara
pidana itu berada memiliki kepentingan, fasilitas, dan pejabat yang paling berkompeten untuk menangani tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara asing.43
Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.44
Hubungan antara yurisdiksi dengan wilayah dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana (kejahatan) tampak dalam sengketa terkenal the Lotus Case.dalam sengketa ini, kapal uap Prancis, the Lotus, bertabrakan dengan kapal Turki the Boz-Kourt di laut lepas. Kapal Turki tenggelam dan menewaskan 8 pelaut dan penumpangnya. Menghadapi insiden ini, pejabat Turki menahan awak kapal the Lotus ketika kapal ini merapat di pelabuhan Turki. Mereka dituduh telah melakukan pembunuhan (pembantaian) terhadap para awak Turki. Pihak Prancis memprotes keras atas tindakan pemerintah Turki tidak memilih yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut. Sengketa ini lalu diserahkan ke Mahkamah Internasional Permanen untuk mengadili apakah ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang melarang Turki melaksanakan yurisdiksinya. Dari hasil penyelidikan, mahkamah berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat
43 JG Starke, Introduction to International Law, (London : Butterworth, 9th ed, 1984), hal.201.
44 Huala Adolf,Op. Cit., hal.185. Universitas Sumatera Utara
melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya.45 Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :
“the first and foremost restriction imposed by international law upon a state is that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise its power in any form in the territory of another state.” 46
Mahkamah menolak argumentasi Prancis bahwa negara benderalah yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan tentang hal ini dalam hukum internasional dan menyatakan pula bahwa kerusakan terhadap kapal Turki sama saja dengan kerusakan terhadap wilayah Turki. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif. Namun, lanjut pengadilan, hal tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara (sengketa) yang terjadi di luar negeri.47
Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga dalam atau di luar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal.48
45 Ibid, hal.188
46 Ibid, hal.189.
47 Ibid.
48 Malcolm N. Shaw, International Law, (London : Butterworth, 1986), hal.351. Universitas Sumatera Utara
Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini :
a. Hak Lintas Damai di Laut teritorial.
Prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil Konferensi Kodifikasi Hukum laut Den Haag 1930,49 dimana diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi pidana dan yurisdiksi perdata. Hasil konferensi ini dipertegas kembali oleh Konvensi Hukum laut Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Dalam Konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28.50
b. Kapal Berbendera Asing di Laut teritorial.
Kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial hanya tunduk kepada yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction) negara pantai. Artinya, kapal-kapal itu pun tunduk kepada kewajiban untuk menghormati perundang-undangan negara pantai dan hukum kebiasaan internasional.51
Sepanjang menyangkut kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial, terdapat teori mengenai kapal-kapal ini, yakni :
49 Huala Adolf, Op cit, hal.189.
50 Ibid, hal.190.
51 Ibid, hal.191. Universitas Sumatera Utara
1. Teori „Pulau Terapung‟ (the Floating Island Theory). Menurut teori ini, kapal-kapal tersebut harus diperlakukan oleh negara lain sebagai bagian dari wilayah negara. Menurut teori ini, yurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan yang dilakukan diatas kapal atau menahan seseorang yang melakukan kejahatan di atas kapal tersebut.
2. Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan kekebalan (imunitas) tertentu kepada kapal asing beserta wakilnya. Pemberian ini bukan berdasarkan pada teori obyektif yang menyatakan bahwa kapal perang/negara itu adalah wilayah negara asing, tapi didasarkan pada pembebasan atau pengecualian yang diberikan oleh undang-undang negara pantai. Pengecualian ini sifatnya bersyarat dan karenanya dapat ditarik kembali oleh negara pantai tersebut.52
c. Pelabuhan.
Pelabuhan adalah salah satu bagian dari perairan pedalaman. Karena di perairan pedalaman ini suatu negara berdaulat penuh, maka kedaulatan penuh ini berlaku di pelabuhan-pelabuhannya. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara, maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal dan awaknya. Di pelabuhan, negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap setiap tindak pidana yang mengganggu perdamaian dan ketertiban negara pantai.53 Negara pantai dapat pula menerapkan yurisdiksi
52 Ibid, hal.192.
53 Ibid. Universitas Sumatera Utara
teritorial apabila diminta atau dikehendaki oleh kapten atau konsul dari negara bendera kapal.54
d. Orang asing.
Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya yurisdiksi teritorial negara terhadap warga negaranya. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada orang asing. Namun demikian, seorang warga negara asing dapat meminta pembebasan dari yurisdiksi teritorial suatu negara dalam hal berikut :
1. Dengan adanya imunitas tertentu, orang asing itu menjadi tidak tunduk kepada hukum nasional negara pantai; atau
2. Bahwa hukum nasional negara tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional.55
2. Yurisdiksi Personal.
Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.56
Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut57 :
54 Ibid, hal.193.
55 J.G Starke, Op Cit, hal.200.
56 Ibid, hal.211.
57 J.G. Starke, Op Cit, hal.303. Universitas Sumatera Utara
a. Prinsip nasionalitas aktif.
Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana ke luar negeri.
b. Prinsip nasionalitas pasif.
Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri , dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya.
3. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan58 kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat
58 Huala Adolf, Op Cit, hal.212. Universitas Sumatera Utara
mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.59
4. Prinsip Yurisdiksi Universal.
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).60
Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan di laut.
“All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”61
Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat
59 Ibid, hal.213.
60 Ibid, hal.218.
61 Isi dari pasal 100 United Nation Convention on the Law of the Sea. Universitas Sumatera Utara
sensitif dan lebih berat bobot politiknya.62 Komisi Kejahatan perang PBB (the United Nations War Crimes Commision) menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas pada negara yang warga negaranya menderita atau kepala negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan.63 Namun hak tersebut dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.64
Pembatasan tertentu yang diterapkan oleh hukum internasional yaitu terhadap kepala negara, wakil diplomatik, kapal perang, dan angkatan bersenjata asing yang ada di wilayah suatu negara. Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial kebal (tidak berlaku) terhadap :
1. Negara dan Kepala Negara Asing;
Suatu negara bebas berbuat apapun di dalam negerinya, sepanjang perbuatan tersebut tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban negara lain atau tidak melanggar hukum internasional. Atau dengan kata lain, suatu negara adalah imun terhadap yurisdiksi pengadilan negara lainnya. Begitu juga dengan kepala negara, yang diidentikkan sebagai negara itu sendiri. Kepala negara memiliki imunitas (kekebalan) penuh (doctrine of absolute immunity).65
Imunitas suatu negara asing atau kepala negara dari yurisdiksi tidak mutlak dalam segala hal, tergantung kepada sifat hakikat dari pemulihan yang diupayakan. Hal-hal berikut merupakan proses perkara kekecualian dari kaidah imunitas :
62 M. N. Shaw, Op. Cit., hal.360.
63 Huala Adolf, Op. Cit., hal.218.
64 Ibid, hal.219.
65 Huala Adolf, Op. Cit., hal.194. Universitas Sumatera Utara
a. Perkara-perkara yang berkenaan dengan alas hak terhadap tanah di dalam yurisdiksi teritorial, yang bukan tanah dimana bangunan-bangunan kedutaan didirikan.
b. Suatu dana di pengadilan (dana perwalian) yang diuruskan yang mana menyangkut kepentingan negara asing atau pemegang kedaulatan asing, tetapi tidak demikian apabila pihak yang diuruskan perwalian dananya itu juga merupakan pemerintah negara asing yang berdaulat.66
c. Tindakan-tindakan perwakilan, seperti tindakan pemegang surat utang, apabila negara asing atau pemegang kedaulatan asing itu adalah pemegang surat utang.
d. Berakhirnya suatu perusahaan yang dalam aset-asetnya negara asing atau pemegang kedaulatan asing mengklaim suatu kepentingan.67
2. Perwakilan Diplomatik dan Konsuler;
Imunitas yuridiksional terhadap agen-agen diplomatik ditetapkan dalam pasal 31-32 Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Diplomatik 1961. Mereka menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang dinyatakan dalam pasal 31, yaitu :
a. Tindakan-tindakan untuk medapatkan kembali harta benda tidak bergerak yang semata-mata pribadi;
b. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suksesi dimana mereka terlibat dalam kapasitas yang benar-benar pribadi.
66 J.G. Starke, Op. Cit., hal.281.
67 Ibid, hal.282. Universitas Sumatera Utara
c. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suatu aktivitas profesi atau komersial pribadi yang dilakukan oleh mereka.68
3. Kapal Pemerintah Negara Asing;
Kapal pemerintah yang statusnya berasal dari kedaulatan negaranya tidak tunduk pada yurisdiksi suatu negara, baik waktu kapal berada di laut lepas, laut teritorial, atau perairan pedalaman negara pantai. Meski kapal-kapal pemerintah menikmati kekebalan, namun mereka diharapkan untuk menaati peraturan perundang-undangan negara pantai.69 Setiap pelanggaran terhadapnya, negara pantai dapat mengusir kapal-kapal pemerintah itu dan mengajukan protes diplomatik.70
4. Angkatan Bersenjata Negara Asing;
Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan sutau imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut.71 Besarnya imunitas tersebut tergantung pada keadaan-keadaan di mana angkatan bersenjata tersebut diterima oleh pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur syarat-syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah itu.72
5. Organisasi Internasional.
Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk
68 Ibid, hal.288.
69 Huala Adolf, Op. Cit., hal. 208.
70 Ibid, hal.209.
71 J.G. Starke, Op. Cit., hal.298.
72 Ibid, hal.299. Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.73
Juga adakalanya suatu negara dapat menjalankan yurisdiksinya atas suatu peristiwa hukum yang terjadi di luar wilayahnya dengan beberapa ketentuan. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kadangkala dua negara atau lebih dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa. Hukum internasional sendiri tidak ada mengatur secara jelas mengenai kompetensi ini. Rebecca M.M Wallace berpendapat bahwa : dasar-dasar yurisdiksi tidak diurutkan dalam hierarki apapun. Tidak ada negara yang dapat menuntut hak yang lebih tinggi semata-mata berdasarkan atas asas melaksanakan yurisdiksi. Suatu negara dapat secara sah memiliki yurisdiksi bersamaan dengan negara lain, negara yang akan melaksanakan yurisdiksi akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, misalnya kehadiran fisik dari pelanggar yang bersangkutan. Apa yang dituntut hukum internasional kini adalah eksistensi hubungan nyata antara pelanggar yang bersangkutan dan negara yang melaksanakan yurisdiksinya.74
Menurut hukum internasional, setiap negara baik berpantai (coastal state) maupun tidak berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah benseranya di laut lepas (pasal 90 UNCLOS 1982).75 Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip
73 Huala Adolf, Op. Cit., hal.210.
74 H. Bachtiar Hamzah, Op. Cit., hal.174-175.
75 Ibid, hal.94. Universitas Sumatera Utara
universal, yaitu setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu (yang terjadi atau dilakukan di laut lepas).
Pada prinsipnya wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara.76
D. Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional.
Keterikatan suatu negara pada suatu perjanjian internasional bukan berarti bahwa kekuasaan tertinggi negara tersebut menjadi hilang atau tergerogoti. Setiap perjanjian yang membatasi yurisdiksi atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subjek hukum internasional lainnya berarti membatasi pelaksanaan kedaulatannya. Namun disini, negara tetap berdaulat. Hanya tindakan-tindakan tertentunya saja yang terkait dengan kesepakatan yang diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kesepakatannya.
Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara tidak dibatasi oleh hukum internasional, kecuali telah dibuktikan dengan suatu asas hukum internasional.
76 Ibid, hal.95.
Universitas Sumatera Utara
Hanya ada satu pembatasan praktis terhadap yurisdiksi yang terlalu luas oleh suatu negara, yaitu negara-negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya atas orang atau benda yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara tersebut.77
Bagi organisasi internasional berlaku prinsip bahwa setiap fungsi yang tidak berada dalam rumusan konstitusinya berada di luar kekuasaannya. Oleh karena itu, setiap organisasi internasional secara hukum tidak dapat melangkahi kekuasaan-kekuasaan konstitusionalnya.78
Sebagai contoh pembatasan yurisdiksi negara dalam suatu organisasi internasional regional adalah dalam Masyarakat Ekonomi Eropa. Mahkamah Masyarakat Eropa merupakan mahkamah dari Uni eropa. Kewenangan Mahkamah Eropa ditetapkan dalam anggaran dasar European Economic Community Pasal 164. Mahkamah ini memiliki kewenangan yang lebih besar dari mahkamah pengadilan internasional lainnya. Mahkamah ini dapat mengadili sengketa antar negara anggota dan alat perlengkapan dari Masyarakat Eropa yang dapat menentukan keabsahan dari tindakan keabsahan dari tinakan masyarakat. Mahkamah juga melakukan pengawasan atas penerapan hukum masyarakat eropa di dalam sistem hukum nasional negara anggota.79 Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Masyarakat Eropa ini bahwa mahkamah memiliki kewenangan yang hampir tidak ada batasnya terhadap negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa.
77 J.G. Starke, Op. Cit., hal.184.
78 Hasnil Basri Siregar, Op. Cit., hal.38.
79 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta : Universitas Indonesia Press), hal.331-332.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh lain dari pembatasan yurisdiksi ddalam suatu organisasi internasional adalah dalam Uni Afrika. Dalam Pasal 4 dari UU konstitutif Uni Afrika meletakkan bawah prinsip-prinsip pembatsan yurisdiksi negara anggotanya sebagai berikut80 :
1. damai penyelesaian konflik di antara negara-negara anggota dari Uni melalui sarana yang tepat seperti sebagaimana dapat memutuskan atas oleh Majelis;
2. Hak Union untuk campur tangan dalam Negara Anggota sesuai mengambil keputusan Majelis sehubungan dengan kuburan keadaan, yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan;
3. Hak Negara-negara Anggota untuk meminta intervensi dari Serikat dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan;
Dari ketiga prinsip tersebut terlihat jelas besarnya kewenangan dari Uni Afrika terhadap negara anggotanya. Bahwa dalam hal penyelesaian konflik secara damai melalui sarana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Dan pada prinsip beriktnya disebutkan juga secara jelas bahwa uni Afrika berhak untuk campur tangan terhadap permasalahan kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di wilayah negara anggotanya. Bahkan dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan Uni Afrika dapat melakukan intervensi atas dasar permintaan negara anggotanya.
80http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/2E%20Makalah%20Perjanjian%20Internansional.pdf, 20 Januari 2010. Universitas Sumatera Utara